KEPEMIMPINAN
(Menurut Agama
Islam)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Disusun Oleh :
1.
Aas Ashari
2.
Huri Herwoko
3.
Ade Isnanto
4.
Fitria Sintami
5.
Dede Suhendar
JURUSAN
MANAJEMEN INFORMATIKA
AKADEMI
MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
BINA
SARANA INFORMATIKA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karuniaNya kami dapat menyelesaikan
Makalah Pendidikan Agama “Kepemimpinan (Menurut
Agama Islam)”. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan kepada pembaca di bidang agama Islam, khususnya dalam peran manusia
sebagai khalifah di muka bumi. Di samping itu, makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama.
Manusia, sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT yang paling sempurna harus sadar akan keberadaan dirinya, tidak takut
untuk mengubah kehidupannya untuk menjadi lebih baik, dan tidak berhenti untuk
terus menimba ilmu dalam kehidupan guna keluar dari kebodohan imannya dan
menuju peningkatan nilai dan kecerdasan takwa dirinya kepada Sang Maha
Pencipta.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan pada penulisan ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharap
kritik dan saran.
Tak ada gading yang tak retak,
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Semoga makalah ini menjadi pelita
bagi individu yang ingin mengembangkan kepribadian dirinya. Amin.
Jakarta, 22 Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah ......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................. 1
BAB II PENJELASAN KEPEMIMPINAN
A.
Kepemimpinan ....................................................................................... 2
B.
Ciri-Ciri Pemimpin
Menurut Islam.......................................................... 3
C.
Syarat-Syarat
Pemimpin Dalam Islam ................................................... 6
D.
Pokok-Pokok
Kepemimpinan Islam ....................................................... 13
BAB III SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM
A.
Pada Masa
Rasulullah ............................................................................ 15
B.
Pada Masa
Khulafaur Rasyidin ............................................................. 16
C.
Kepemimpinan
Bani Umayyah ............................................................. 17
D.
Kepemimpinan
Bani Abbasiyah ............................................................. 18
BAB III ANALISIS SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT
ISLAM
A.
Dasar Hukum
Pemilihan Pemimpin (Suksesi Kepemipinan) .................. 19
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................................ 20
B.
Saran ...................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
“Setiap kamu adalah
pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” Mungkin kata-kata
tersebut yang paling cocok dan pas bagi setiap orang muslim di seantero jagad
raya ini. Kenapa tidak, manusia diturunkan di bumi ini adalah sebagai khalifah
yang memakmurkan dan menyemarakkan dunia. Mungkin kita juga sepakat bahwa pada
setiap individu manusia muslim adalah seorang pemimpin. Yakni memimpin dirinya
sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Berbicara tentang
“kepemimpinan”, sungguh alangkah menumbuhkan jiwa semangat bagi setiap muslim
yang peduli akan iman yang diembannya. Jika kita menoleh jauh ke belakang
tentang sejarah awal Islam, tentulah kita akan menemukan banyak pelajaran yang
luar biasa apabila diaplikasikan dalam dunia modern sekarang, khususnya dalam
hal “kepemimpinan”. Bagaimana bentuk kepemimpinan Rasulullah dan para
sahabat-sahabatnya. Dan bagaimana cara pemilihan seorang pemimpin pada saat
itu.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di
atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana bentuk-bentuk pemilihan pemimpin (suksesi kepemimpinan) dalam
syariat Islam jika ditinjau dari masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani
Umayyah, dan Bani Abasiyyah?
BAB II
PENJELASAN KEPEMIMPINAN
A.
Kepemimpinan
1.
Hakikat Kepemimpinan
Dalam
kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan
sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan
serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan
satu dengan lainnya. Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki
sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan
adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk
melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau
melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Kepemimpinan adalah seni untuk
mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh
kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan
tugas – Field Manual (22-100).
Kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang
diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak
dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka
satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya
memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan
yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat –
sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat
berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
2.
Kriteria Pemimpin
Adapun
kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a. Pemimpin yang mukmin.
b. Tegas dalam menjalankan perintah
Tuhan.
c. Takut kepada Allah swt sewaktu
mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.
d. Tidak menzalimi siapapun.
e. Tidak memerkosa hak-hak orang lain.
f. Menegakkan dan bukan melecehkan
hudud Allah swt.
g. Membahagiakan rakyatnya dengan
mengharap rida Allah swt.
h. Orang kuat di sisinya menjadi lemah
sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya yang direbut si kuat.
i.
Orang
lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.
j.
Menampakkan
kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan
hajat hidup orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya
merasa bahagia.
k. Semua orang hidup aman dan tenteram.
l.
Sangat
mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m. Selalu mendoakan manusia, begitu
pula sebaliknya. Kriteria di atas menjadi indikator bagi pemimpin yang terbaik
dan termulia di sisi Allah swt dan manusia.
B.
Ciri-Ciri
Pemimpin Menurut Islam
Adapun
cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :
1.
Niat Yang Tulus
Apabila
menerima suatu tanggung jawab, hendaklah didahului dengan niat sesuai dengan
apa yang telah Allah perintahkan. Iringi hal itu dgn mengharapkan keredhaan-Nya
sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan
kesempatan dan kemuliaan.
2.
Laki-Laki
Wanita
sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita
(Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.
Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah
bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman
bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika
kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul
tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan
karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim).
4.
Berpegang Dan Konsisten Pada Hukum Allah
Ini
salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia
meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan dari jabatannya.
5.
Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang
dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi
dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
6.
Senantiasa Ada Ketika Diperlukan
Rakyat
Hendaklah
selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup pintunya terhadap
keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit
terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan
At-Tirmidzi).
7.
Menasihati Rakyat
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg memegang urusan kaum Muslimin lalu ia
tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, kecuali pemimpin itu
tidak akan masuk syurga bersama mrk (rakyatnya).”
8.
Tidak Menerima Hadiah
Seorang
rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud
tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh kerena itu,
hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah
bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat
Thabrani).
9.
Mencari Pemimpin Yang Baik
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah
kecuali ada bersama mereka itu golongan pembantu, yaitu pembantu yang menyuruh
kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pembantu yang menyuruh kpd
kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka org yg terjaga adalah orang yang
dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
10. Lemah
Lembut
Doa
Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia
mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yg mengurus satu perkara
umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah
kepadanya.
11. Tidak
Meragukan Rakyat
Rasulullah
bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan
merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).
12. Terbuka
Untuk Menerima Ide & Kritikan
Salah
satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara. Kebebasan bersuara ini adalah
platform bagi rakyat utk memberi idea atau kritikan kepada kerajaan &
pemimpin agar sma mngembling tenaga & ijtihad kearah pembentukn negara yg
maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika dilantik menjadi khalifah, beliau
menegaskan "..saya berlaku baik, tolonglah saya, dan apabila saya berlaku
buruk, betulkn saya..", manakala Khalifah Umar prnah ditegur oleh seorang
wanita ketika memberi arahan di masjid, dan beliau menerima teguran tersebut.
C.
Syarat-Syarat
Pemimpin Dalam Islam
Kepemimpinan
setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual
yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan
yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia,
serta harus memiliki sifat adil. Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas
spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau
rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah
mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika
menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya
dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas
spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk
dosa.
Menurut
Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran
mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka
akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan
telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses
penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan
antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau
meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan
menjadi nol. Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah
mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita
rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa
realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib
beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi
ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari
wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari
seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering
menjebak manusia. Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil.
Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit
dan bumi ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai
menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang
dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya
bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua
orang dan setiap orang. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini
dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb
pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan
hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama
kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang
dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman,
ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan
demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam sebenarnya
memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan
oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan tersebut adalah
Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan
tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang memimpin
umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi
kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah), yaitu:
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh
alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang
kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh
kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut
sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah
disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau
kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang
mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan
Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu
sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat.
Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan
pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan,
menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan
pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis
Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya
Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan
oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah
zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi
Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar,
yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni
ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada
Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad
wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah
kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban menjadi
khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang
faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
Menurut
Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan mengatur
(mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu
pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud
dari hukum Islam itu sendiri. Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu
tidaklah boleh untuk berbuat salah. Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan
Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang memenuhi
syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia
harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun
spiritual. Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.
Dalam
kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah (5 : 461) menyimpulkan : "Mereka
sepakat bahwa imam disyaratkan harus Muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki,
Quraisy, adil, alim, mujtahid, pemberani, memeliki wawasan yang benar, sehat
pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan." Ibn Taimiyah, walaupun menolak
syarat-syarat klasik ini, karena dianggap tidak realistis, namun beliau
menegaskan bahwa keadilan beserta amanah adalah dua kualitas esensial
pemerintahan Islam (lihat Qamaruddin Khan, The Political Thoughts of Ibn
Taymiyah, Islamabad Islamic Research Institution, 1973). Setelah Rasulullah Saw
wafat, yang memegang kendali kepemimpinan politik Islam, bukan lagi tokoh ideal
seperti Nabi. Abu Bakar Ra –seperti dinyatakan oleh Umar Ra dalam kitab
Al-Hudud, Bab Rajm Al-Hubla, Shahih Bukhari—dipilih tergesa-gesa, tetapi Allah
Swt menyelamatkan umat dari kekurangannya. Bahkan Abu Bakar sendiri mengakui
bahwa ia bukanlah orang yang paling baik untuk menduduki jabatan khalifah.
Ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar Ra berkhutbah : "Sesungguhnya
dalam posisi ini aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Ketahuilah
kadang-kadang syaitan menguasai diriku. Bila aku baik bantulah aku. Bila aku
salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak wajib
menaatiku." (Khutbah ini diungkapkan dengan bermacam-macam redaksi pada
Ibn Hiyam (4 : 340), Al-Tabari (3 : 303), Al-Imamah wa Al-Syiyasah (16); Ibn
Katsir (5 : 248); Tarikh Al-Khulafa' (47); Al-Halabiyah (3 : 397); dan Kanz
Al-Ummal (3 : 129). Jadi, sebenarnya Abu Bakar dipilih tidak melalui suatu
proses ijma', seperti diyakini oleh banyak kalangan. Para mu'arrikh misalnya,
menyebutkan sejumlah orang yang berlindung di rumah Fatimah Az-Zahra Ra;
'Abbas, Salman, 'Ammar ibn Yasir, Al-Barra' ibn 'Azib, Sa'ad ibn Abi Waqqash,
'Utbah ibn Abi Labhab, Abu Dzar, Miqdad ibn Al-Aswad, Ubay ibn Ka'ab, Thalhah
ibn Ubaidillah, kelompok Bani Hasyim, sekelompok Muhajir dan Anshar. [Baca :
Musnad Ahmad (1 : 155); Al-Thabari (2 : 466); Ibn Al-Atsir (2 : 124); Ibn
Katsir (5 : 246); Ibn Abi Al-Hadid (1 : 123); Tarikh Al-Khulafa' (45); Ibn
Hisyam (4 : 338); Tarikh Al-Khamis (1 : 188); Ibn 'Ad Rabbih; Tarikh Abi
Al-Fida (1 : 156); dan Al-Halabiyah (3 : 394)]. Mereka beranggapan bahwa 'Ali
ibn Abi Thalib Kw, berdasarkan nash penunjukan oleh Nabi Saw, berhak untuk
menjadi khalifah. Beliau dipandang lebih adil, lebih faqih, dan lebih dekat
dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah Fatimah Az-Zahrah Ra wafat, 'Ali
berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ra yang kemudian diikuti oleh kelompoknya.
Sa'ad ibn 'Ubadah, calon pemimpin dari kalangan Anshar yang tidak terpilih, pun
tidak melakukan perlawanan. 'Ali ibn Abi Thalib Kw malah memberikan dukungan
intelektual terhadap Abu Bakar dan Umar. Beliau sering membantu mereka dalam
mengatasi masalah-masalah hukum, walau pun ia tidak menduduki jabatan apa pun.
Dalam menghadapi kesenjangan, seperti dikatakan Jalaluddin Rahmat; antara das
Sollen dan das Sein –yang tidak begitu besar—umat terpecah kepada kelompok
pendukung das Sollen dan kelompok pendukung das Sein.
Pada
zaman Abu Bakar dan Umar, kedua kelompok ini –setelah komplik yang juga tidak
begitu besar—bergabung mendukung keduanya. Sehingga, seperti dikatakan Maududi,
Abu Bakar dan Umar berhasil menegakkan sistim politik yang adil: pemerintahan
berdasarkan musyawarah, amanah, kekuasaan hukum, jiwa demokrasi, dan anti
ashabiyah. Kualifikasi Pemimpin dalam Pemikiran Islam Sebenarnya, apa sajakah
kualifikasi pemimpin menurut para pemikir politik Islam? Adalah Al-Farabi yang
memiliki concern mengenai pewenang tertinggi dalam pemerintahan ini. Beliau
menyebutnya dengan al-ra'is al-awwal li al-madinah al-fadhilah wa ra'is
al-mamirah min al-ardh kulliha (Pemimpin Tertinggi Negara Utama dan Pemimpin
Oikumene Dunia). Di antara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan Al-Farabi ialah
: "…bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya,
kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu,
sanggup menanggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan
jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua
orang –hatta terhadap diri dan keluarganya—serta berani dan paling awal."
Al-Farabi juga menyebutkan : "Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini
dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini
terpenuhi dalam diri seseorang, dialah sang pemimpin.
Kalau
tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat tersebutlah yang dapat
menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi sifat-sifat
tersebut secara maksimal, namun ada dua orang, yang satu bijak (hakim) dan
lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya menjadi pemimpin
bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi satu dengan lainnya. Apabila
sifat-sifat ini ada pada lebih dua orang, dan mereka saling mengerti, maka
semuanya adalah para pemimpin yang dihormati." Sementara itu, Syeikh
Al-Ra'is ibn Sina menyatakan dalam kitabnya, Al-Syifa', Bab "Penentuan
Khalifah dan Imam", sebagai berikut : "… Kemudian wajib bagi seorang
pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang akan menggantikannya. Suksesi
ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya, atau berdasarkan ijma' para
ahli senior atas seseorang yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang
yang mandiri dalam politik, kuat secara intelektual, bermoral mulia –seperti
berani, terhormat, cakap mengelola, dan arif dalam hukum syariat—sehingga tiada
orang yang lebih dikenal darinya." "Ditetapkan kepada mereka bahwa
apabila terjadi perselisihan atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau
mereka sepakat (menetapkan) orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini,
dan yang tidak layak, maka mereka akan kafir kepada Allah Swt." Al-Qadhi
Abu Ya'la Al-Gharra' dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, menyatakan :
"Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1) Berasal dari keturunan Quraisy;
2) Memenuhi sejumlah syarat, seperti
layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, akil, balig, berilmu, dan adil;
3) Arif dalam urusan peperangan,
politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa belas kasihannya tidak
menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sifat membela umatnya; dan
4) yang paling utama dalam ilmu dan
agama di antara mereka.
"
Al-Mawardi, teoritisi utama politik Islam Sunni memerinci dalam kitab Al-Ahkam
Al-Sulthaniyyah, bahwa : "Orang yang layak menyandang kepemimpinan, harus
memenuhi tujuh syarat, yaitu :
1) adil dengan keseluruhan
persyaratannya;
2) berilmu pengetahuan sehingga mampu
berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketetapan hukum;
3) memiliki kesempurnaan indra seperti
pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan agar dengannya ia bisa melaksanakan
tugasnya sendiri;
4) tak memiliki cacat tubuh yang bisa
menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera;
5) memiliki kemampuan menggagas yang
dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan;
6) berani dan tangguh sehingga mampu
mempertahankan Negara dan melawan musuh; dan
7) nasab sang pemimpin hendaklah dari
keturunan Quraisy, dan mendapatkan kesepakatan (konsensus).
"
(Lihat Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, 6). Sementara itu, uraian tentang kepemimpinan
Islam dalam pandangan Syi'ah bertolak dari konsep wilayah dan imamah. Wilayah
adalah konsep luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah. Sedangkan
imamah adalah kepemimpinan (zi'amah), pemerintahan (hukumah) dan riasah 'ammah
dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi Saw dan para imam
sesudah Nabi. Menurut Murtadha Muthahhari, kata wala, walayah, wilayah, wali,
maula, dan derivat lainnya, banyak sekali disebut dalam Al-Quran. Sebagai kata
kerja disebut 124 kali, dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya Al-Quran memandang masalah wilayah. Dalam buku
Al-Mukaddimah, Ibn Khaldun menulis tentang kualifikasi pemimpin :
"Syarat-syarat jabatan ini ada empat; ilmu, keadilan, kemampuan, dan
keselamatan indra dan anggota tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi cara
berpendapat dan bertindak. Adapun syarat kelima, tentang keturunan Quraisy, hal
ini masih diperselisihkan. Syarat berilmu pengetahuan juga jelas, karena dia
akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya. Hal yang
tidak diketahuinya tidak boleh diajukan sebagai (ketetapan) hukum dan perintahnya.
Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali dia seorang
mujtahid, mengingat taklid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpinan
menuntut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak…" (Baca : Ibn Khaldun,
Muqadimah, 135). Abd Al-Malik Al-Juwaini (Imam Al- Haramain), dalam kitabnya,
Al-Irsyad; Al-Qalqasyandi dalam bukunya, Ma'atsir Al-Inafah fi Ma'alim
Al-Khilafah (1 : 31), pasal kedua, bab syarat-syarat imamah, dan Ibn Hazm
Al-Andalusi, di antara para ulama yang lain, umumnya mengungkapkan
kualifikasi-kualifikasi yang sama, dengan beberapa variasi kecil.
D.
Pokok-Pokok
Kepemimpinan Islam
Yamani
dalam bukunya Filsafat Politik Islam (2002 : 15-16), mengemukakan pokok-pokok
kepemimpinan dalam Islam didasarkan atas empat dasar falsafi (philosophische
grondslagen), antara lain : Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam
semesta dan segala isinya. Allah adalah malik an-nas, pemegang kedaulatan,
pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan
Ilahiyah. Kedua, Kepemimpinan manusia (qiyadah abasyariyyah) yang mewujudkan
hakimiyah Allah di bumi ini ialah nubuwwah. Nabi tidak hanya menyampaikan
al-qanun al-ilahi dalam bentuk Kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu.
Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan
adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.' Ketiga, garis imamah melanjutkan
garis nubuwwah dalam memimpin umat. Setelah zaman para nabi berakhir dengan
wafatnya Rasulullah Saw., kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para imam yang
diwariskan oleh Rasulullah dan ahl-al-bait-nya. Setelah zaman para nabi, dating
zaman 'para imam.' Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan
umat dibebankan kepada mereka. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang
berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling
tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam tiada, kepemimpinan harus dipegang
oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat berikut : Pertama, Faqahah;
yakni mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup melakukan istinbath hukum
dari sumber-sumbernya. Kedua, Istiqamah, Al-Shalah, dan Tadayyun; yakni
memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Ketiga,
Kafa'ah, yakni memiliki kemampuan untuk memimpin umat; mengetahui ilamu yang
berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan
rohani. Nah, bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, maka harus
dibentuk 'majelis fukaha'. Wallahu 'Alam Bisshawab.
BAB III
SUKSESI
KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM
A.
Pada
Masa Rasulullah
Setelah tiba dan diterima penduduk
Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru
dalam sejarah
Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode Madinah, Islam
merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi mempunyai kedudukan, bukan saja
sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain,
dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan duniawi.
Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala Negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat
dan negara baru itu (Madinah), maka beliau segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar tersebut antara lain:
1. Pembagunan masjid, selain sebagai
tempat ibadah masjid juga digunakan sebagai pusat pemerintahan.
2. Ukhuwah Islamiyah, Nabi mempersaudarakan antara golongan
Muhajirin dan Anshar.
3. Hubungan persahabatan dengan
pihak-pihak lainyang tidak beragama Islam.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini,
dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama,
juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya
dalam sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan
seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.
B.
Pada
Masa Khulafaur Rasyidin
Dalam sejarah Islam dikenal berbagai
mekanisme penetapan kepala negara, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin; Abu
Bakar ditetapkan berdasarkan pemilihan dengan musyawara terbuka, Umar ibn
Khattab ditetapkan berdasarkan penunjukan kepala negara terdahulunya, Usman ibn
Affan ditetapkan berdasarkan pemilihan dalam suatu dewan formatur, dan Ali ibn
Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan musyawarah dalam pertemuan terbuka.
1.
Khalifah Abu Bakar
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan
wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik
umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan
tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak
lama setelah beliau wafat belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh
Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sai’dah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup
alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa
berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat yang tinggi,
akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat
penghargaan yang tinggi dari umat Islam.
2.
Khalifah Umar ibn Khattab
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa
ajalnya sudah dekat, beliau bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian
mengangkat Umar sebagai gantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
3.
Usman Ibn Affan
Untuk menentukan penggantinya, Umar
tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat
dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi
khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi
Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan
berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melaui persaingan yang agak ketat dengan
Ali ibn Abi Thalib.
4.
Ali ibn Abi Thalib
Setelah Usman wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah
hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun pada pemerintahannya yang dapat dikatakan
stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat
oleh Usman. Dia yakin pemberotakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran
mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali
sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar.
C.
Kepemimpinan
Bani Umayyah
Memasuki kekuasaan Muawiyah yang
menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis
berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan
Muawiyah diperolaeh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
suara pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia
dan bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia member
interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh
Allah.
D.
Kepemimpinan
Bani Abbasiyah
Kekuasaan Bani Abbas, atau khilafah
Abbasiyah, merupakan kelanjutan dari kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhamad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656
H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan oerubahan politik, sosial, dan budaya.
BAB III
ANALISIS
SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM
A.
Dasar
Hukum Pemilihan Pemimpin (Suksesi Kepemipinan)
Berkaitan dengan kehidupan
bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak memberikan pemberian. Tetapi al-Qur’an hanya
memaktubkan tata nilai. Demikian pula as-Sunnah. Nabi tidak menetapkan
peraturan secara rinci mengenai prosedur pergantian kepemimpinan umat dan
kualifikasi pemimpin umat. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa Firman Allah
dan Sabda Nabi yang berkaitan dengan pembahasan.
1. Dasar al-Qur’an
a.
Kemestian
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
Sesungguhnya
(agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah
Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun: 52)
b. Kemestian bermusyawarah dalam
menyelesaikan dan menyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiyah.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS.
asy-Syura [42]: 38)
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pemimpin adalah orang yang mendapat
amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau
mengatur orang lain. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan
memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.
Menyatakan bahwa dalam menjadi
pemimpin di muka bumi maka manusia harus bisa menjalankan apa yang telah
diamanatkan oleh Allah dan di setiap langkah sebagai seorang pemimpin, Allah
akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang
apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi.
B.
SARAN
Dalam makalah singkat ini penulis
ingin menyarankan kepada rekan mahasiswa hendaknya kita membuat tugas yang
dibebankan oleh dosen pengasuh kita yang berupa makalah khususnya mata kuliah pendidikan
agama islam, kita membuat sendiri agar kedepannya kita menjadi mahasiswa yang
benar-benar siap pakai di kalangan masyarakat maupun dunian kerja.